Cloud Hosting Indonesia

Wirausaha,siapa takut?

Ditengah kejenuhan yang sudah sedemikian kuat atas aktualisasi diri sebagai seorang pegawai swasta dan telah dijalani selama kurang lebih 11tahun, saya berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk terus peka terhadap setiap peluang-peluang usaha yang setidaknya bisa menggantikan alat jemput rejeki sebagai seorang pegawai menjadi seorang wirausaha mandiri.

Berusaha setiap ada waktu dan kesempatan untuk terus menambah ide,wawasan dan ilmu tentang bagaimana mengawali proses terbaik berpindah kuadran dari seorang karyawan dan menjadi seorang wirausahawan.
Dan dalam proses perjalanan pencarian serta pemantapan ide,wawasan dan ilmu tentang kewirausahaan itu aku malam ini aku mencoba membuka sebuah blog dari seorang entrepreneur yang juga sebelumnya sebagai seorang eksekutif disebuah situs berita terkenal Detik.com yaitu Bapak Nukman Luthfie.

Didalam blognya Pak Nukman ini saya menemukan sebuah artikel berjudul 'Menjadi Wirausaha, Siapa Takut?',dan setelah saya baca isinya cukup bisa menginspirasi bagi saya dan juga mungkin sahabat-sahabat yang saat ini juga sedang melalui proses sperti saya.Untuk itu saking semangatnya dengan tulisan Pak Nukman Luthfie ini akhirnya saya tuliskan kembali diblog saya ini demi berbagi ilmu yang saya dapatkan dan semoga juga dapat menginspirasi sahabat yang lainnya.
Berikut artikel lengkapnya.
Tak sengaja saya menemukan kolom yang saya tulis di majalah SWA tujuh tahun lalu, edisi 10/XX/13-26 Mei 2004. Saat itu sekitar setahun setelah saya pindah kuadran dari eksekutif Detik.com, membangun usaha sendiri, Virtual Consulting. Saat itu memang banyak eksekutif puncak yang meninggalkan posisi nyamannya untuk memasuki lahan baru yang berisiko.

Tulisan itu saya baca ulang. Dan sepertinya masih layak dibaca saat ini. Saya bagi di blog ini, siapa tahu bermanfaat untuk yang ingin menjadi pengusaha.
“Pertaruhan terbesar dalam hidup adalah ketika saya memutuskan menjadi wirausahawan?” Itulah sebaris kalimat yang berkecamuk di benak seorang eksekutif perusahaan ketika memutuskan pindah kuadran menjadi wirausahawan (entrepreneur).

Berlebihan? Tidak. Bertahun-tahun membangun karier di jalur profesional, merintis dari posisi terendah hingga mampu menembus level direksi, membuat sebagian besar kita merasakan nyamannya posisi ini sehingga enggan melepaskannya. Gaji dan tunjangan yang berkecukupan. Jaringan bisnis yang terbangun lumayan luas. Nama besar yang mengikuti jabatan di perusahaan terpandang.

Siapa yang mau kehilangan sederetan kenikmatan langka itu untuk memasuki dunia baru yang penuh tantangan? Dunia yang penuh risiko — bisa meludeskan modal yang kita tabung bertahun-tahun dan memudarkan nama kita yang sebelumnya lumayan terpandang.

Johannes Kotjo dan Judiono Tosin, misalnya, amat mengilat karier dan namanya sebagai eksekutif puncak Grup Salim pada tahun 1980-an. Ketika keluar dari konglomerasi terbesar Indonesia yang masih dikomandoi Om Liem saat itu danmembangun bisnis sendiri, mereka sempat menjadi ikon eksekutif yang berani pindah kuadran. Namun, tak berapa lama nama dan bisnis mereka pudar.

Meski demikian, dunia kewirausahaan sepertinya tak mengenal trauma. Ada saja eksekutif yang berani terjun ke dunia usaha. Ira Koesno, presenter kondang SCTV, seperti ditulis dalam Sajian Utama SWA, berani melangkah ke dunia itu. Begitu pula kawula muda lain yang sebelumnya memiliki posisi lumayan bagus di perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. Saya sendiri setelah berolah pikir cukup lama akhirnya berani meninggalkan posisi direktur di Agrakom dan Detikcom — portal nomor wahid yang menjadi fenomena bisnis Internet di Indonesia karena mampu menjadi yang terbesar, baik dari sisi pengakses maupun iklan yang berhasil didulang di dunia maya.

Langkah para eksekutif muda (umur 30-40 tahun) memasuki dunia wirausaha saya lihat sebagai langkah unik jika melihat tingkat retensinya. Bagi mereka yang sejak lahir sudah tercetak menjadi wirausahawan karena keturunan, seperti para pedagang, serta pebisnis warung Tegal dan Padang, dunia usaha bukanlah hal yang aneh. Biasanya mereka menerjuni bisnis ini sejak kecil dengan membantu orang tua atau kerabatnya. Di kemudian hari mengambil alih atau mengembangkan bisnis serupa di tempat lain. Tipe ini nyaris tidak memerlukan pendidikan tinggi dan tidak memiliki retensi untuk menjadi wirausahawan.

Agak berbeda kasusnya dengan mereka yang mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Kebanyakan dari lulusan universitas cenderung menjadi eksekutif perusahaan. Hanya segelintir yang berani langsung membuka usaha sendiri begitu selesai wisuda.

Orang yang terbiasa menjadi eksekutif biasanya memiliki retensi besar untuk membangun usaha mandiri. Mereka yang sukses di jalur ini kebanyakan setia pada jalurnya. Jadi, kalau memang ada segelintir yang berani pindah jalur, ini layak dicatat.

Mereka yang pindah kuadran ini di atas kertas sebenarnya memiliki peluang sukses cukup besar. Alasan utamanya, mereka yang pernah mencicipi posisi eksekutif puncak pasti sudah terlatih jiwa kewirausahaannya di dalam perusahaan (intrapreneurship).

Pekerjaan manajerial memang tergolong penghindar dan penekan risiko (risk aversive and risk minimalist). Namun, semakin tinggi posisi manajerial seseorang, semakin pekat pekerjaan yang berbau wirausaha, yang bersifat menentang risiko (risk taker). Tanggung jawab manajemen puncak untuk membuka pasar baru, membuat produk baru, membuka unit bisnis baru, serta meningkatkan pendapatan dan laba perusahaan adalah tanggung jawab yang pekat dengan jiwa kewirausahaan. Artinya, jiwa kewirausahaan mereka sudah terasah.

Alasan lain, nama mereka sudah cukup terpandang dan jaringan bisnisnya sudah lumayan luas sesuai dengan kehebatan perusahaan yang dikelolanya. Ini bisa menjadi modal awal yang sangat bagus untuk membangun bisnis baru.

Namun, yang indah di atas kertas memang lain dari di dunia nyata. Dengan wadah usaha baru, jalan untuk menembus proyek dan mendapatkan revenue jadi semakin berat. Memangnya mudah kita mengikuti tender betulan dengan perusahaan seumur jagung yang minim portofolio bisnis? Pengalaman profesional yang jika ditulis bisa berlembar-lembar ternyata tidak bisa begitu saja ditransfer dalam bisnis baru. Wirausahawan baru pun, dalam hal modal, memiliki banyak keterbatasan. Apalagi, perusahaan baru yang dirintis wirausahawan baru biasanya tidak/kurang bankable.

Apa boleh buat, wirausahawan yang baru pindah kuadran akan pusing tujuh keliling ketika cash flow perusahaan kacau-balau. Hal ini kurang dirasakan ketika bekerja sebagai eksekutif karena berbagai resource — termasuk keuangan — disediakan pemilik perusahaan. Itulah tantangan dunia usaha. Seorang wirausahawan bukan hanya pintar memanfaatkan peluang, tetapi juga dituntut untuk piawai memanfaatkan berbagai resource, termasuk keuangan, sumber daya manusia dan teknologi, setelah berhasil menangkap peluang.

Eksekutif yang pindah kuadran menjadi wirausahawan sama saja dengan ikan yang pindah kolam. Ia akan mabuk sesaat. Ia membutuhkan waktu untuk adaptasi. Sebagian akan mati. Saya sendiri sudah menyaksikan beberapa rekan yang pindah kuadran dengan optimisme tinggi, tapi setahun kemudian ambruk. Namun, yang lolos seleksi berpotensi menjadi wirausahawan yang tangguh. Rekan saya, misalnya, kini menjadi wirausahawan yang memiliki tower seluler begitu banyak di Indonesia. Seorang rekan lain mampu membuat usaha ekspor mebel dan mengelola 600-an karyawan.

Mereka yang lolos seleksi dan tumbuh sehat akan mendapatkan pemandangan yang jauh lebih indah. Persis seperti anak-anak kura-kura yang baru menetas di pinggir pantai dan berebut masuk ke laut. Ada yang mati dimakan binatang lain atau manusia. Namun, yang berhasil masuk ke laut akan tumbuh dan berkelana, menyaksikan indahnya lautan luas, warna-warni terumbu karang, indahnya tarian beraneka ragam ikan, dan kemudian beranak-pinak. Itulah indahnya jika sukses di dunia usaha. Patut disyukuri jika banyak kawula muda yang berani pindah kuadran menjadi wirausahawan.

Menjadi wirausaha, siapa takut?

Sumber : nukmanluthfie.com


Fatwa MUI Tentang Bunga Bank

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)

Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :

  1. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
  2. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
  3. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.


MENGINGAT :

  1. Firman Allah SWT, antara lain :
    Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
  2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
    Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
    Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
    Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
    Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
    Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
  3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)

MEMPERHATIKAN :

  1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
    Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
    Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
    1. Ibn al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
    2. Al-Aini dalam ‘Umdah al-Qary :
    3. Al-Sarakhsyi dalam Al-Mabsuth :
    4. Ar-Raghib al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
    5. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
    6. Muhammad Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
    7. Yusuf al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
    8. Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
  2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
  3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
    1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
    2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
    3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
    4. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
    5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
  4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
  5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
  6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
  7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
  8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.

    Dengan memohon ridha Allah SWT
    MEMUTUSKAN

    MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
    Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba

    1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
    2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

    Kedua : Hukum Bunga (interest)

    1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
    2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

    Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional

    1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
    2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

    Jakarta, 05 Djulhijah 1424H
    24 Januari 2004 M

    MAJELIS ULAMA INDONESIA,
    KOMISI FATWA

    Ketua Sekretaris

    K.H. Ma’ruf Amin Drs. Hasanudin ,M.Ag.